Biografi Perjuangan KH Ahmad Sanusi Asal Sukabumi (Bagian 1)

                    K H Ahmad Sanusi 
Di tengah-tengah kondisi sosial-ekonomi dan sosial-budaya seperti yang telah digambarkan sebelumnya, di Sukabumi lahirlah seorang anak laki-laki yang kelak menjadi seorang pemimpin yang sangat disegani. Dia adalah Ahmad Sanusi yang dilahirkan di Desa Cantayan, Onderdistrik Cikembar, Distrik Cibadak, Afdeeling Sukabumi pada tanggal 12 Muharam 1306 Hijriah . Sementara itu, berdasarkan keterangan yang terdapat di atas batu nisan makamnya, Ahmad Sanusi dilahirkan pada tanggal 3 Muharam 1306 Hijriah.

Terkait dengan tanggal kelahiran Ahmad Sanusi dalam tahun masehi, ada penulis yang menafsirkan kelahirannya pada 18 September 1889 (Iskandar, 1993: 2; Mawardi dalam Sulasman, 2007: 19). Ketika Ahmad Sanusi diperiksa oeh Raden Karnabrata, Wedana Patih Afdeeling Sukabumi tanggal 7 Oktober 1919, ia mengaku berusia sekitar 30 tahun . Artinya, Ahmad Sanusi mengaku lahir sekitar tahun 1889.

Sementara itu, dalam Daftar Orang-Orang Indonesia Terkemoeka di Djawa, tertulis tanggal 18 September 1888 sebagai penafsiran atas tanggal 12 Muharam 1306 Hijriah (ANRI, R.A. 31. No. 2119). Ketika A. M. Sipahoetar berdialog langsung dengan Ahmad Sanusi sekitar tahun 1942-1943 dan menuliskan tanggal 18 September 1888 sebagai kelahiran Ahmad Sanusia, ia tidak mengoreksi penanggalan tersebut (Sipahoetar, 1946: 71). Jadi dengan demikian, jelaslah kiranya bahwa Ahmad Sanusi dilahirkan pada 18 September 1888.

Latar Belakang Kehidupan 

Ahmad Sanusi merupakan salah seorang anak K. H. Abdurrohim, seorang ajengan dari Cantayan.Berdasarkan cerita yang berkembang di lingkungan keluarga dan masyarakat sekitarnya, K. H. Abdurrahim berasal dari Sukapura (Tasikmalaya). Konon diceritakan bahwa, ayah K. H. Abdurrahim yang bernama H. Yasin masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Raden Anggadipa. Ketika memegang jabatan sebagai Bupati Sukapura, Raden Anggadipa dikenal dengan nama Raden Tumenggung Wiradadaha III. Ia dikenal juga dengan panggilan Dalem Sawidak karena memiliki anak sekitar enam puluh orang. Cerita lain menyebutkan bahwa H. Yasin merupakan keturunan Syekh Abdul Muhyi, penyebar agama Islam di daerah Tasikmalaya Selatan yang berpusat di Pamijahan. H. Yasin berangkat mengembara ke Sukabumi sampai ia memutuskan untuk menetap di Cantayan. Dalam pengembaraan itu, ia ditemani istrinya yang bernama Naisari. Dari perkawinannya itu, H. Yasin memiliki sepuluh orang putra dan salah satunya bernama K. H. Abdurrahim sebagai anak keenam.Lima orang kakaknya masing-masing bernama Sardan, Eming Ja’ud, Coon, Maryam, dan Iti.Sementara itu, empat orang adiknya masing-masing bernama Fatimah, Madjid, Eming Emot, dan Rohman (Mawardi dalam Sulasman, 2007: 20).

Ahmad Sanusi merupakan anak ketiga dari delapan bersaudara buah cinta K. H. Abdurrahim dengan Epok, istrinya yang pertama. Ahmad Sanusi memiliki dua orang kakak yang masing-masing bernama Iting (perempuan) dan Abdullah (laki-laki); serta memiliki lima orang adik yang masing-masing bernama Ulan, Nahrowi, Soleh, Kahfi, dan Endah. Selain itu, K. H. Abdurrahman pun memiliki enam orang anak hasil pernikahannya dengan Eno, istri keduanya, yang masing-masing bernama Muhammad Mansyur, Ahmad Damanhuri, Dadun Abdul Qohar, Muhammad Maturidi, Bidin Saefudin, dan Bidi Malakah.Adapun pernikahannya dengan Oyo, istri ketiganya, K. H. Abdurrahman tidak dikaruniai anak.

Dari sumber lain dikatakan bahwa K. H. Abdurrahim memiliki dua orang istri masing-masing bernama Empok (istri pertama) dan Siti Zaenab (istri kedua). Dari istri pertamanya, K. H. Abdurrahim mempunyai delapan orang anak, sedangkan dari istri keduanya dikaruniai sembilan orang anak (Adz Dzurriyyat, Desember 2005). Sumber yang merupakan dokumen keluarga ini menunjukkan perbedaan dengan sumber sebelumnya dalam hal urutan adik-adik Ahmad Sanusi, nama istri kedua K. H. Abdurrahim, dan jumlah anak dari istri kedua K. H. Abdurrahim. Sebagai gambaran, saudara-saudara Ahmad Sanusi, baik yang seibu/sebapak maupun yang sebapak dapat dilihat dilihat dalam gambar silsilah Ahmad Sanusi.

Latar Belakang Pendidikan

Sebagai seorang anak ajengan, sejak kecil Ahmad Sanusi beserta dengan seluruh saudaranya dididik dalam lingkungan religius. Proses pendidikan agama yang diterima Ahmad Sanusi dilakukan secara langsung oleh orang tuanya yang pada waktu itu telah mendirikan sebuah pesantren yang bernama Pesantren Cantayan. Di pesantren ini, secara rutin digelar majelis taklim yang selalu dihadiri oleh para jamaah dari berbagai daerah.Sementara itu, santri yang masantren di Cantayan pun tidak hanya berasal dari daerah setempat, melainkan ada juga yang berasal dari Bogor dan Cianjur.

Seperti halnya di daerah lain, dalam kehidupan sehari-harinya pun, Ahmad Sanusi mendapat perlakuan istemewa dari para santri dan masyarakat sekitarnya. Hal tersebut disebabkan oleh rasa hormat mereka kepada kyai atau untuk istilah lokal dipanggil dengan sebutan ajengan.Rasa hormat yang begitu tinggi yang diberikan masyarakat kepada kyai atau ajengan karena didorong oleh kedalaman ilmu agamanya.Kyai merupakan kelompok sosial di masyarakat yang memiliki pengaruh sangat kuat sehingga dipandang sebagai sebagai salah satu kekuatan penting dalam kehidupan politik.Akibatnya, kyai merupakan pembuat keputusan yang efektif dalam sistem sosial, tidak hanya dalam kehidupan keagamaan, tetapi juga dalam kehidupan politik (Dhofier, 1982: 56).

Di tengah-tengah kesibukannya menggembalakan hewan peliharaannya, Ahmad Sanusi diberi pendidikan dasar keagamaan oleh orang tuanya.Membaca Al Qur’an dan praktik-praktik ibadah lainnya secara rutin diberikan kepada Ahmad Sanusi.Keadaan seperti itu yang kemudian mampu membentuk karakter Ahmad Sanusi sebagai seseorang yang memiliki landasan keagamaan sangat kuat. Dengan demikian, sejak kecil Ahamad Sanusi telah mengalami proses internalisasi terhadap masalah-masalah keagamaan. Selain itu, K. H. Abdurrahim menginginkan anak-anaknya menjadi serang ulama sehingga proses pendidikan keagamaan telah dilakukan terhadap Ahmad Sanusi, juga kepada saudara kandung lainnya, sejak usia dini. Keinginan tersebut merupakan fenomena umum yang menghinggapi harapan para kyai di Pulau Jawa (Iskandar, 1993: 3).

Namun demikian, pendidikan keagamaan yang lebih serius baru dijalani Ahmad Sanusi pada saat dirinya berusia sekitar 16 ½ tahun.Sejak saat itu, pendidikan keagamaan yang dijalani Ahmad Sanusi tidak hanya diperoleh dari orang tuanya, melainkan dari beberapa orangan ajengan. Dengan perkataan lain, ia mulai belajar agama dari satu pesantren ke pesantren lain. Demikianlah, sejak awal tahun 190,5 Ahmad Sanusi masantren di berbagai pesantren baik yang ada di Sukabumi maupun di luar Sukabumi. Dalam kurun waktu itu, beberapa pesantren yang ada di Afdeeling Sukabumi dimasuki oleh Ahmad Sanusi, antara lain Pesantren Cisaat, Cijambe, Sukaraja, Gentur, dan Salalangka. Selain itu, untuk memperdalam ilmu keislamannya, Ahmad Sanusi pun belajar di beberapa pesantren yang ada di luar Sukabumi, antara lain ke Pesantren Gudang (Tasikmalaya), Garut, dan Cianjur (Sipahoetar, 1946: 71; Wawancara dengan K. H. Abdullah Manshur tanggal 24 Desember 2008). Sumber lain menyebutkan bahwa setidaknya-tidaknya ada sembilan pesantren yang pernah dimasuki Ahmad Sanusi, baik yang ada di Sukabumi maupun yang ada di luar Sukabumi. Kesembilan pesantren itu adalah Pesantren Selajambe (Cisaat), Pesantren Sukamantri (Cisaat), Pesantren Sukaraja (Sukaraja), Pesantren Cilaku (Cianjur), Pesantren Ciajag (Cianjur), Pesantren Gudang (Tasikmalaya), Pesantren Gentur (Warungkondang, Cianjur), dan Pesantren Keresek serta Pesantren Bunikasih yang kedua-duanya berada di Garut (Surat Residen Priangan tanggal 15 Desember 1927 No. 50/E, Mailrapporten Geheim No. 679x/28 dalam Iskandar, 1993: 4). Waktu yang diperlukan oleh Ahmad Sanusi untuk menimba ilmu di pesantren sekitar 4,5 tahun (Daftar Orang-Orang Indonesia Terkemoeka di Djawa. R. A. 31. No. 2119; A, M. Sipahoetar (1946: 71). Dengan demikian, kegiatan masantren yang dijalani Ahmad Sanusi di sebuah rata-rata selama 6 bulan di setiap pesantren.

Dari sekian banyak pesantren yang dimasuki Ahmad Sanusi, proses masantren yang paling lama dijalaninya terjadi di Pesantren Cilaku dan Pesantren Gudang yang masing-masing selama dua belas bulan. Di Pesantren Gudang, Ahmad Sanusi berguru kepada K. H. Suja’i, seorang ajengan yang pada waktu itu begitu dihormati dan disegani oleh masyarakat Tasikmalaya.

Setelah melanglang buana dari satu pesantren ke pesantren lain di luar Sukabumi selama 4 ½ tahun, pada 1909 Ahmad Sanusi pulang kembali ke Sukabumi dan masuk ke Pesantren di Babakan Slaawi. Pada saat ia sedang menimba ilmu di pesantren tersebut, ia bertemu dengan seorang perempuan yang bernama Siti Juwariyah, putri Affandi seorang haji yang berasal dari Kebon Pedes, Kecamatan Baros, Afdeeling Sukabumi. Pada tahun 1910, Ahmad Sanusi menikahi Siti Juwariyah dan beberapa bulan kemudian, Ahmad Sanusi dan istrinya pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah seluruh rukun dan syarat haji ditunaikan, H. Ahmad Sanusi tidak langsung pulang ke kampung halamannya, melainkan justru bermukim di kota suci itu. Ia bermaksud menimba ilmu kepada beberapa orang guru atau syeikh dengan harapan pengetahuan keislamannya semakin mendalam (Iskandar, 1993: 4; Sipahoetar, 1946: 72).

Selain menikahi Hj. Siti Juwariyah, H. Ahmad Sanusi pun menikahi Siti Soewaedah dan Siti Halimah.Dari ketiga pernikahannya itu, H. Ahmad Sanusi dikaruniai anak sebanyak 19 orang.Sampai tahun 1942, sembilan orang anaknya telah meninggal dunia. Dengan demikian, sampai tahun tersebut, anak-anak H. Ahmad Sanusi yang masih hidup tinggal sepuluh orang, sebagaimana ia laporkan kepada Pemerintah Militer Jepang ketika mengisi form Pendaftaran Orang Indonesia jang Terkemoeka jang ada di Djawa. Selengkapnya, H. Ahmad Sanusi mengisi form itu sebagai berikut.

Semoeanja ada 19 orang, jang masi hidoep ada 10 orang.

1. A. Zarkasji, lahir hari Saptoe tanggal 27 … tahoen 1335 H.

2. A. Badri, lahir hari Chamis tanggal 28 boelan Hadji tahoen 1338 H.

3. M. Djoewa’eni, lahir hari Djoem’ah tanggal 8 boelan Moeloed tahoen 1340H.

4. Nadjmoeddin, lahir hari Raboe tanggal 26 Djoemadil Akhir tahoen 1344 H.

5. Hafidoedin, lahir hari Djoem’ah tanggal 28 Moeloed tahoen 1349H.

6. Kamaloedin, lahir hari Rebo tanggal 15 boelan Hapit tahoen 1352 H.

7. M. Solahoeddin, lahir hari malam Selasa tanggal 8 boelan Sja’ban 1354 H.

8. Siti Aminah Cholidah, lahir hari malam Ahad tanggal Moeharam tahoen 1357 H.

9. Siti Maryam, lahir hari hari Saptoe tanggal 16 boelan Djoemadil Awal tahoen 1346 H.

10. Noeroddin, lahir hari malam Senen tanggal Djoemadil Awal tahoen 1359.

Jang pertama dari istri saja jang doeloean jalah iboenja Siti Djoewariyah dan Siti Soewaedah. Jang lima lagi dari istri saja jang sekarang jalah Siti Halimah (Daftar Orang-Orang Indonesia Terkemoeka di Djawa. R. A. 31. No. 2119).

Arah Pemikiran

Setelah selesai menunaikan ibadah haji, H. Ahmad Sanusi tidak langsung pulang ke kampung halamanannya di Cantayan, Sukabumi.Ia mukim di Mekkah selama lima tahun untuk memperdalam ilmu keislamannya. Ia kemudian berguru kepada beberapa ulama lokal maupun ulama pendatang (mukimin). Pada umumnya, para ulama yang didatangi oleh H. Ahmad Sanusi adalah mereka yang berasal dari Mazhab Syafi’i. Beberapa gurunya itu antara lain H. Muhammad Junaedi, Haji Mukhtar, Haji Abdullah Jamawi, dan seorang mufti dari Mazhab Sayafi’i yang bernama Syeikh Saleh Bafadil (Iskandar, 1993: 4).

Tahun-tahun pertama mukimnya H. Ahmad Sanusi di Mekkah, jadi antara tahun 1910-1911, ia bertemu dengan H. Abdul Halim dari Majalengka. Oleh karena mereka berasal dari satu daerah yang sama yakni Tatar Pasundan pertemuan tersebut berkembang menjadi sebuah persahabatan. Konon katanya mereka bersepakat bahwa jika kelak kembali ke Indonesia, mereka akan berjuang membebaskan bangsanya dari penjajahan Belanda melalui pendidikan. Sekitar tahun 1911, H. Abdul Halim pulang ke kampung halamannya, sedangkan H. Ahmad Sanusi masih bermukim di Mekkah karena belum menyelesaikan pendidikan agamanya.Ketika H. Ahmad Sanusi pulang ke Cantayan pada Juli 1915, hubungannya dengan H. Abdul Halim diteruskan dan mereka mulai berusaha mengimplementasikan cita-citanya membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan melalui pendidikan. Dari hubungan itulah, kelak di kemudian hari lahir sebuah organisasi yang bernama Persatuan Umat Islam (PUI) yang merupakan organisasi massa hasil fusi antara PUI dan PUII  (Falah, 2008: 18; Sukarsa, 2007: 20-21).


Meskipun H. Ahmad Sanusi bermukim di Mekkah selama sekitar lima tahun, namun tidak satu pun sumber yang mengatakan pertemuannya dengan Syaikh Achmad Khatib. Walaupun tidak berguru kepada ulama paling berpengaruh yang berasal dari Minangkabau itu, tidakberarti mengurangi kualitas keilmuan yang dimiliki oleh H. Ahmad Sanusi.Malah sebaliknya, berdasarkan tradisi lisan yang berkembangan di kalangan para ulama Sukabumi, H. Ahmad Sanusi pernah menjadi imam shalat di Masjidil Haram.Jika cerita itu dapat dipercaya kebenarannya, hal tersebut merupakan sebuah bukti atas pengakuan para syeikh terhadap kedalaman ilmu dan pengetahuan agama yang dimiliki H. Ahmad Sanusi. Bahkan seorang syeikh sampai mengatakan bahwa jika seseorang yang berasal dari Sukabumi hendak memperdalam ilmu keagamaannya, ia tidak perlu pergi jauh-jauh ke Mekkah karena di Sukabumi telah ada seorang guru agama yang ilmunya telah mencukupi untuk dijadikan sebagai guru panutan yang pantas diikuti (Sulasman, 2007: 25). Meskipun tidak ada sumber pembanding, namun setidak-tidaknya dapat dijadikan sebagai suatu gambaran atas pengakuan masyarakat terhadap kedalaman ilmu keagamaan yang dimiliki oleh H. Ahmad Sanusi.


Orang – Orang yang Berpengaruh 


Selain berguru kepada para ulama yang ada di Mekkah, H. Ahmad Sanusi pun secara kontinyu melakukan diskusi dengan para santri atau mukimin lainnya yang ada di Mekkah.Dalam diskusi itu dibicarakan berbagai permasalahan yang dihadapi oleh umat, entah itu masalah sosial, agama, budaya, dan sebagainya.Diskusi yang dilakukan oleh H. Ahmad Sanusi tidak terbatas pada kalangan yang satu mazhab dengan H. Ahmad Sanusi. Para santri atau mukimin yang beda mazhab pun selalu diundang atau dihampiri oleh H. Ahmad Sanusi dan diajakan men-diskusikan masalah-masalah keagamaan, sosial, dan politik. Hal tersebut yang menjadikan wawasan dan pengetahuan H. Ahmad Sanusi menjadi lebih terbuka dan mendalam.


Dalam kegiatan-kegiatan diskusi itulah, H. Ahmad Sanusi bertemu dengan seseorang yang bernama H. Abdul Muluk. Dalam pertemuan yang terjadi sekitar tahun 1913 itu, H. Abdul Muluk memperlihatkan statuten atau anggaran dasar Sarekat Islam (SI) kepada H. Ahmad Sanusi. Setelah statuten itu didiskusikan, H. Abdul Muluk mengajak H. Ahmad Sanusi untuk bergabung dengan Sarekat Islam (SI).Ajakan tersebut direspons positif oleh H. Ahmad Sanusi dan meyakinkan H. Abdul Muluk bahwa dirinya setuju untuk bergabung dengan Sarekat Islam (Iskandar, 1993: 4).H. Ahmad Sanusi bersedia bergabung dengan Sarekat Islam karena organisasi tersebut dipandang memiliki tujuan yang baik, yakni tujuan akhirat dan tujuan duniawi. Oleh karena itu, ia mau menerima tawaran H. Abdul Muluk untuk menjadi anggota Sarekat Islam. Namun demikian, proses penerimaannya sebagai anggota Sarekat Islam berbeda dengan anggota lainnya karena H. Ahmad Sanusi tidak disumpah atau diba’iat (Proces Verbaal Hadji Ahmad Sanoesi tanggal 7 Oktober 1919 dalam Koleksi R. A. Kern No. 278. KITLV).Hal tersebut mungkin disebabkan H. Abdul Muluk tidak memiliki wewenang memba’iat anggota baru sehingga ketika H. Ahmad Sanusi menyatakan bersedia bergabung dengan Sarekat Islam, namanya langsung didaftarkan sebagai anggota Sarekat Islam.


Bersambung..

Sumber : Beritalangitan.com

Abdullah, Tuafik. 2001. Nasionalisme dan Sejarah. Bandung: Satya Historika.

Bahar, Saafroedin (eds.). 1995. Risalah Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI); Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI); 28 Mei 1945-22 Agustus 1945. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia. 

Benda, Harry J. 1980. Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang. Terj. Dhaniel Dhakidae. Jakarta: Pustaka Jaya.

Jaya, Ruhatna. 1995. Sejarah Perguruan Islam Syamsul Ulum Gunung Puyuh.Sukabumi.

Kahin,George McTurnan. 1970. Nationalism and Revolition in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press. 

Kohn, Hans. 1984. Nasionalisme; Arti dan Sejarahnya. Terj. Sumantri Mertodipuro. Jakarta: Erlangga.

Lubis, Nina H. et al. 2005. Peta Cikal Bakal TNI. Bandung: Puslit Kemasyarakatan & Kebudayaan Lemlit Unpad. 

Moedjanto, G. 1993. Indonesia Abad Ke-20; Dari Kebangkitn Nasional sampai Linggjati. Yogyakarta: Kanisius.






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Santunan Yatim dan Jompo di Masjid Puri Khayangan

13 Ton Padi Organik: Keberhasilan Petani di Bengkulu

Paguron Bela Diri dan Pencak Silat "Cahya Paroman" Adakan Ajang Prestasi Tahunan