KHUTBATUL WADA' RASULULLAH DAN KESADARAN POLITIK GLOBAL


Duniaislambumiindonesia.blogspot.com- Khutbatul Wada' merujuk pada khutbah perpisahan Nabi Muhammad (saw). Khutbah tersebut disampaikan selama ibadah haji terakhir beliau, yang dikenal sebagai Hajjat al-Wida, pada bulan Dzulhijjah dalam tahun 10 H (632 M). Khutbah ini dilakukan di Gunung Arafah dekat Makkah.

Khutbah perpisahan ini dianggap sebagai peristiwa penting dalam sejarah Islam, karena mengulas aspek-aspek penting dalam iman, hubungan sosial, dan perlindungan kepada manusia. Khutbah wada’ Rasulullah merupakan khutbah politik yang sarat membicarakan urusan negara dan rakyat.

Dalam khutbatul Wada’, Rasulullah Muhammad SAW menekankan pentingnya persatuan umat Muslim seluruh dunia, tanpa memandang ras, etnis, atau status sosial. Beliau menyatakan bahwa semua manusia sama, dan tidak ada Arab yang lebih mulia daripada non-Arab, begitu pula sebaliknya, kecuali berdasarkan takwa dan amal shalih.

Rasulullah Muhammad SAW menekankan kesucian kehidupan, harta benda, dan kehormatan manusia. Beliau mengingatkan umat Muslim akan pentingnya menjaga hak-hak individu dan memperlakukan mereka dengan baik dan adil. Beliau juga memperingatkan tentang penindasan dan perlakuan yang buruk terhadap orang lain.

Rasulullah Muhammad SAW  menekankan perlunya umat Muslim memenuhi tanggung jawab sosial mereka terhadap keluarga, tetangga, dan masyarakat secara keseluruhan. Beliau menekankan pentingnya memperlakukan orang lain dengan baik, membantu mereka yang membutuhkan, dan menjaga hubungan keluarga dan komunitas yang kuat.

Rasulullah Muhammad SAW menyentuh tentang hak-hak dan perlakuan terhadap perempuan, menekankan pentingnya mereka dan mendesak agar mereka diperlakukan dengan adil dan dihormati. Beliau mengutuk segala bentuk penindasan atau penganiayaan terhadap perempuan dan mengingatkan para mukmin untuk memperlakukan mereka dengan baik dan adil.

Rasulullah Muhammad SAW melarang pemberlakuan bunga (riba) dan mengutuk segala bentuk eksploitasi dalam transaksi ekonomi. Beliau menekankan pentingnya perdagangan yang adil dan transaksi bisnis yang jujur.

Khutbatul Wada' dianggap sebagai pesan komprehensif yang mencakup ajaran inti Islam dalam perspektif politik ideologis ketatanegaraan. Prinsip-prinsipnya terus membimbing umat Muslim saat ini dalam perilaku pribadi, sosial, dan moral mereka. Namun, sayangnya dengan adanya nasionalisme Barat, umat muslim bukan hanya terpecah-belah, namun juga telah banyak meninggalkan Islam sebagai sistem politik.

Islam sebagai agama tidak secara langsung mengenal konsep nasionalisme dalam bentuknya yang modern. Islam menekankan persaudaraan umat manusia tanpa memandang batasan nasional atau etnis. Ajaran Islam mengutamakan hubungan berdasarkan iman dan kepatuhan kepada Allah, bukan pada identitas nasional atau kesukuan serta kebangsaan. Islam itu beyond nasionalistik dimana keseluruhan umat Islam di seluruh dunia adalah satu kesatuan seperti satu tubuh. Sebagaimana organ tubuh sebagai kesatuan, maka harus dipimpin oleh satu otak. Begitupun mestinya dengan umat Islam harus dipimpin oleh satu pemimpin.  

Nasionalisme adalah warisan penjajah yang telah memporak-porandakan persatuan umat Islam di seluruh dunia, sebagaimana telah terjadi dalam bentuk khilafah masa lalu. Lahirnya nasionalisme sebagai gerakan politik dan ideologi modern dapat ditelusuri ke periode akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Perkembangan nasionalisme dipengaruhi oleh beberapa faktor historis dan perubahan sosial-politik di berbagai wilayah dunia. Nasinalisme barat tentu saja berpaham sekuler yang diharamkan dalam Islam.

Berikut adalah beberapa faktor penting dalam sejarah lahirnya nasionalisme: Pertama, Revolusi Amerika (1775-1783). Revolusi Amerika Serikat melawan penjajahan Inggris memberikan dorongan penting bagi perkembangan nasionalisme. Gerakan ini mendorong gagasan kemerdekaan, kedaulatan rakyat, dan identitas nasional Amerika yang baru.

Kedua, Revolusi Prancis (1789-1799). Revolusi Prancis membawa konsep baru tentang kedaulatan rakyat dan kesetaraan hak asasi manusia. Revolusi ini juga memperkuat gagasan nasionalisme sebagai pengorganisasi politik dan sosial berdasarkan identitas bangsa.

Ketiga, Pembentukan Negara-negara Modern. Proses pembentukan negara-negara modern di Eropa pada abad ke-19 juga berperan dalam menguatkan nasionalisme. Upaya untuk menyatukan wilayah-wilayah yang sebelumnya terfragmentasi menjadi negara-negara nasional seperti Jerman dan Italia memberikan momentum bagi nasionalisme.

Keempat, Pemikiran Filosofis. Pemikiran filosofis seperti Rousseau, yang menekankan kedaulatan rakyat dan kontrak sosial, memberikan landasan teoretis bagi perkembangan nasionalisme. Konsep identitas nasional, kebanggaan budaya, dan kesatuan bangsa menjadi inti pemikiran ini.

Kelima, Pergerakan Kebangkitan Nasional. Di berbagai wilayah dunia, gerakan kebangkitan nasional muncul sebagai respons terhadap penjajahan kolonial dan upaya memperoleh kemerdekaan. Contohnya adalah gerakan nasional di India, Amerika Latin, dan negara-negara di Afrika yang bertujuan untuk mendapatkan kemerdekaan politik dan pemulihan identitas nasional.

Keenam, Revolusi Industri. Revolusi Industri mempengaruhi transformasi sosial dan ekonomi, serta menciptakan kesadaran nasional di kalangan pekerja dan kelas menengah baru. Perubahan dalam ekonomi, mobilitas, dan komunikasi mendorong kesadaran akan persamaan nasional dan perlunya solidaritas dalam lingkup nasional.

Semua faktor ini bersama-sama berkontribusi dalam memunculkan nasionalisme sebagai gerakan politik dan ideologi yang menekankan identitas, kebanggaan, dan kesatuan bangsa. Dalam beberapa kasus, nasionalisme ekstrem dapat memicu konflik dan ketegangan antarbangsa sebagaimana terjadi sejak ada nasionalisme hingga hari ini. Nasionalisme bahkan telah menjadikan negeri-negeri muslim juga saling berkonflik, bahkan hingga pada ikatan-ikatan partai politik yang satu dengan yang lainnya juga bertikai demi berebut harta dan tahta.

Sebenarnya untuk memahami konsep khilafah ini mudah saja. Kata khalifah yang terdapat dalam QS 2 : 30 sebagai konsep kepemimpinan Islam tentu akan bisa terwujud jika ada institusi khilafah yang mewadahinya.  Sebagaimana halnya dengan kata bupati akan terwujud jika ada institusi kabupaten yang mewadahinya. Begitu pula dengan kata raja akan menjadi kenyatataan jika ada institusi kerajaan yang mewadahinya.

Nah, itulah mengapa seluruh ulama mazhab lsepakat bahwa menegakkan khilafah adalah fardhu kifayah. Artinya jika belum tegak, maka seluruh umat Islam harus menanggung dosanya, kecuali bagi muslim yang terus mendakwahkannya.

Khilafah adalah salah satu ajaran Islam dalam aspek politik, kepemimpinan, kekuasaan dan pemerintahan sebagaimana telah terwujud dalam sejarah peradaban Islam masa lalu. Menyalahkan khilafah berarti menyalahkan ajaran Islam, padahal khilafah sendiri hari ini belum tegak di muka bumi. Gagasan khilafah bahkan masih sebatas diskursus intelektual.

Wahbah az-Zuhaili mengemukakan makna khilafah. Beliau menyebutkan, “Khilafah, Imamah Kubra dan Imaratul Mu’minin merupakan istilah-istilah yang sinonim dengan makna yang sama.” (Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, 9/881). Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum Muslim di dunia untuk melaksanakan hukum-hukum Islam dan mengemban dakwah ke seluruh alam. Sejatinya antara syariah atau ajaran Islam secara kâffah tidak bisa dilepaskan dengan Khilafah. Ini juga yang disampaikan oleh Hujjatul Islam Imam al-Ghazali: “Agama adalah pondasi dan kekuasaan politik adalah penjaganya. Sesuatu yang tidak ada pondasinya akan roboh. Sesuatu yang tidak ada penjaganya akan terlantar.”

Dalam Kitab fikih yang sangat terkenal—dengan judul Fiqih Islam karya Sulaiman Rasyid, dicantum bab tentang kewajiban menegakkan Khilafah. Bab tentang Khilafah juga pernah menjadi salah satu materi di buku-buku madrasah (MA/MTs) di Tanah Air. Terlepas dari berbagai ragam sikap, namun seluruh imam mazhab bersepakat bahwa Khilafah atau imamah adalah bagian dari ajaran Islam, bahkan wajib untuk ditegakkan.

Imam Syamsuddin al-Qurthubi (w. 671 H) seorang ulama yang sangat otoritatif di bidang tafsir. Menjadikan ayat 30 surat al-baqarah sebagai dalil atas kewajiban menegakkan Khilafah. Kata beliau, "Ayat ini merupakan dalil atas kewajiban mengangkat seorang khalifah yang di patuhi serta di taati agar dengan itu suara umat Islam bisa bersatu dan dengan itu pula keputusan-keputusan khalifah dapat di terapkan. Tidak ada perbedaan pendapat di antara umat dan tidak pula di antara para ulama atas kewajiban ini, kecuali apa yang di riwayatkan dari Al-'Ahsam yang benar-benar telah tuli (ashamm) terhadap syariah. Demikian pula siapa saja yang berpendapat dengan pendapatnya itu serta mengikuti ide dan mazhabnya."

Para ulama juga menjadikan as-Sunnah sebagai dalil atas kewajiban menegakkan Khilafah. Misalnya hadist Shahih Muslim nomer 567 tentang tawaran Istikhlaf (menunjuk Khalifah pengganti) kepada Umar bin Khattab ra. Menjelang saat beliau mendekati ajal. Imam al-Qadhi 'Iya di al-makin (w. 544 H) mengatakan dalam syarh -nya Ikmal al-mu'lim bi-Fawa id Muslim, "ini merupakan hujjah bagi apa yang telah menjadi ijmak kaum Muslim dimasa lampau tentang syariah pengangkatan seorang Khalifah.

Imam Syamsuddin At-Taftazani ( w. 791 H) dalam Syarh Al-'Aqa id Al-Nasafiyyah, dengan berdasarkan hadist tersebut, menegaskan bahwa khilafah itu wajib menurut syariah. Dalil yang semakin mengokohkan kewajiban menegakkan Khilafah adalah Ikmal Sahabat pasca Rasulullah saw. Untuk mengangkat seorang khalifah. Dalil ini disepakati oleh seluruh ulama Aswaja. Imam Saifuddin al-Amidi (w. 631 H) mengatakan, "Ahlus Sunnah wal Jamaah (Ahlul Haq) berpendapat: Dalil qath'i atas kewajiban mewujudkan seorang khalifah serta menaatinya secara syar'i adalah riwayat mutawatir tentang adanya ijmak kaum Muslim (Ijmak Sahabat) pada periode awal pasca Rasulullah saw. Wafat atas ketidakbolehan masa dari kekosongan seorang khalifah..."

Esensi pertama khilafah dalam Islam adalah untuk menerapkan syariat dan hukum Allah secara sempurna di berbagai bidang kehidupan manusia. Esensi kedua khilafah adalah dakwah rahmatan lil alamin ke seluruh penjuru dunia. Esensi ketiga khilafah adalah mewujudkan persatuan umat seluruh dunia dalam satu kepemimpinan. Ketiga esensi di atas adalah kebaikan, bukan keburukan, apalagi ekstrimisme kekerasan, sama sekali bukan. Sebab syariah, dakwah dan persatuan umat adalah kebaikan yang diperintahkan oleh Allah.


 


(AhmadSastra)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Santunan Yatim dan Jompo di Masjid Puri Khayangan

13 Ton Padi Organik: Keberhasilan Petani di Bengkulu

Paguron Bela Diri dan Pencak Silat "Cahya Paroman" Adakan Ajang Prestasi Tahunan